Minggu, 19 Maret 2017

pahlawan sultan agung


Mashudi
Sultan Agung Hanyokrokusumo lahir di 
Yogyakarta tahun 1591. Pada tahun 1613 saat berusia dua puluh dua tahun, putera panembahan Seda Krapyak ini diangkat menjadi raja Kerajaan 
Mataram. Ia merupakan raja ketiga Kerajaan 
Mataram Islam. Sultan Agung yang juga merupakan cucu Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya) terkenal tangkas, cerdas dan taat menjalankan agama Islam. Sang kakek yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan penegak Dinasti 
Mataram.

Sultan Agung adalah seorang raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Hampir seluruh pulau Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon berhasil ditempatkan di bawah kekuasaan Mataram. Begitu pula dengan daerah pesisir, seperti Surabaya juga berhasil ditaklukannya agar kelak tidak membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram. Hubungan baik ia bina dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia terutama dalam hal perdagangan.

Utusan khusus Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh (VOC=Verenigde Oost Indische Compagnie) Dr. H de Haen yang pernah bertemu Sultan Agung menulis: "Pangeran Ingalaga ini adalah seorang yang berada pada puncak kehidupannya, berusia sekitar 20 atau 30 tahun, berbadan bagus. Sejauh penglihatan kami, sedikit lebih hitam dari rata-rata orang Jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, dan lamban bila berbicara, berwajah tenang dan bulat, dan tampak cerdas."

Ditambahkannya lagi, "Pakaian tidak berbeda dengan pakaian orang-orang Jawa lainnya, dengan kopiah dari kain linen di kepala, dengan kain di badannya yang dilukis dan dibuat di negaranya, berwarna putih-biru, dengan keris di badan bagian depan dan ikat pinggang dari emas yang disebut sabuk. Pada jari-jarinya terlihat cincin dengan banyak intan gemerlapan".

Gambaran yang indah itu perlu dijelaskan. Kopiah dari kain linen hampir dapat dipastikan adalah kuluk putih (fez tanpa rumbai-rumbai), yang sejak masuknya agama Islam dipakai oleh mereka yang taat beribadah. Kain yang dilukiskan itu adalah kain 

desainerbatik dengan warna putih-biru. Keris masih dipakai di depan dan berbeda dalam perkembangan selanjutnya dimana keris ditaruh di belakang.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kompeni Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Indonesia, antara lain Jakarta dan terus berusaha memperluas daerah kekuasannya hingga ke Indonesia bagian timur. Selain VOC, masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Keadaan itu merupakan bahaya untuk keutuhan dan kebesaran Mataram. Untuk menghadapi bahaya tersebut, langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah dengan menaklukan sejumlah daerah di Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan pada tahun 1616. Pasuruan, menyusul setahun berikutnya. Kemudian Tuban pada tahun 1619, Madura pada tahun 1624, dan Surabaya pada tahun 1625.

Dengan keberhasilannya menguasai kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur, intervensi kekuasaan asing untuk sementara dapat dicegah. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak, dilakukan politik domestifikasi. Seperti saat penaklukan wilayah Madura, pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, diharuskan tinggal di Keraton Mataram oleh Sultan Agung. Di Keraton, Prasena mendapat perlakuan baik dan dikawinkan dengan putri Keraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I.

Dengan strategi itu, terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, melainkan merasa menjadi mitra yang diperhitungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat upaya itu, sebagian wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.

Untuk menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung menawarkan kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Dalam rencana Sultan Agung, setelah Banten hancur, barulah kemudian VOC diperangi. Namun tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC pada masa itu. Coen tampaknya mengetahui bila kerajaan Banten sudah dapat dihancurkan, kongsi dagang itu akan menjadi sasaran Sultan Agung berikutnya. Karena itu, VOC tetap memelihara pertentangan dengan kerajaan itu dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan kepada pemerintahan kolonial Belanda.

Mendapat penolakan itu, Sultan Agung tidak langsung berputus asa. Ia memperbesar angkatan perang Mataram dan rencana untuk menyerang Belanda di Jakarta pun disusun. Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda. Serangan pertama dilancarkan pada tahun 1628. Sultan Agung mengerahkan sebuah armada yang terdiri atas 59 buah kapal dan pasukan darat berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Pasukan tersebut menempuh jalan yang sangat jauh dari 
Yogyakarta ke Jakarta.

Mereka menyerang benteng Belanda dengan persenjataan tombak dan pedang. Beberapa orang panglima perang turut memimpin antara lain Baurekso dan Tumenggung Suro Agul-agul. Untuk membendung serangan hebat itu, VOC mengerahkan 2.866 serdadu. Dalam pertempuran yang berlangsung siang dan malam itu, Belanda dengan meriam-meriamnya berhasil melawan pasukan Mataram. Serangan pertama itu pun berakhir dengan kegagalan.

Untuk kedua kalinya, pada tahun 1629 pasukan Mataram bergerak lagi melalui jalan darat ke Batavia dengan persiapan yang lebih baik. Pasukan-pasukan berkuda dilengkapi dengan gajah-gajah yang mengangkut meriam. Di beberapa tempat seperti Tegal dan Cirebon didirikan gudang-gudang untuk menyimpan bahan makanan. Kota Batavia dikepung dengan ketat. Meriam-meriam Mataram menghujani benteng-benteng Belanda. Pasukan Mataram berhasil merebut Benteng Hollandia tetapi pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng karena pada waktu itu berjangkit wabah penyakit sehingga banyak pasukan Mataram yang terserang wabah dan meninggal dunia. Selain itu, Belanda dapat pula mengetahui tempat-tempat penyimpanan bahan makanan pasukan Mataram, lalu membakarnya. Serangan yang kedua ini pun mengalami kegagalan.

Sesudah serangan yang kedua itu, Sultan Agung tidak dapat lagi mengerahkan pasukan untuk menyerang Belanda. Namun, Raja itu tetap tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia menutup kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa. Pelabuhan Jepara menjadi satu-satunya bandar yang terbuka bagi dunia dalam perdagangan beras. Ia kembali ke Mataram dan memperkuat pertahanan dalam negeri serta memajukan kemakmuran rakyat. Penutupan kota-kota pelabuhan, seperti Surabaya, Tuban, dan Gresik, menjadikan kerajaan Mataram meninggalkan sifat "agromaritim" (hidup dari hasil pertanian dan perdagangan lewat laut).

Kerajaan itu menjadi kerajaan pedalaman yang hidup dari pertanian. Mataram menjadi terpencil karena tidak ada relasi dengan kekuatan-kekuatan lain, selain dengan Belanda. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 setelah berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan. Hingga akhir hayatnya, ia tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun ada tawaran untuk itu. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, sebelah selatan 
Yogyakarta. Penggantinya, Sunan Mangkurat I sepeninggal ayahnya segera mengadakan perdamaian dengan Belanda yang menjadikannya bulan-bulanan politik divide et impera ("adu domba", membagi dan menguasai) Belanda.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Agung dianugerahi gelar 
pahlawan Nasional berdasarkan SK 
Presiden RI No. 106/TK/Tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar